Minggu, 24 Mei 2009

DIPLOMASI MENCARI PENGAKUAN NEGOSIASI RI - BELANDA

DIPLOMASI MENCARI PENGAKUAN NEGOSIASI RI - BELANDA

KATA PENGANTAR


“…Dulce et decorum est propartia mori..”
-Adalah mulia dan terhormat mati demi Negara-
Pepatah latin pada masa imperium Romawi

Konsep kedaulatan negara dan negara-bangsa memang telah sangat kuat bergantung pada saat perjanjian Westphalia (1618 – 1648). Namun boleh dikatakan bahwa baru pada abad kedua puluhlah konsep Negara baru menjadi wacana luas di kalangan bangsa Indonesia, walaupun begitu kemerdekaan dan kedaulatan adalah sesuatu yang diraih dengan susah dan sangat dipertahankan oleh bangsa Indonesia. Segala cara ditempuh dalam rangka mempertahankan kedaulatan Negara. Salah satunya adalah dengan mencari pengakuan dan legitimasi dari negara lain, dengan kata lain melalui diplomasi.

Dalam sejarahnya, negara yang berdiri pada 17 Agustus 1945 ini mengalami masa–masa sulit dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaannya. Ada kelompok yang bersikap keras dan menolak untuk bernegosiasi dengan belanda, namun ada pula yang memilih untuk menyelesaikan sengketa konflik melalui meja perundingan. Indonesia menempuh kedua jalan tersebut. Adapun tulisan ini akan membahas permasalahan mengenai perjuangan Indonesia melalui diplomasi, terutamanya pada usaha pemerintah Indonesia pada waktu itu untuk sebanyak mungkin mendapatkan perhatian dan pengakuan di dunia Internasional dari PBB dan negara-negara lain dalam penyelesaian sengketa dengan Belanda.

Perjuangan diplomasi Indonesia terutama pada masa antara perjanjian Linggarjati dan Konferensi Meja Bundar (KMB) sangat kental dengan simpatik dalam pencarian dukungan serta pengakuan dari negara lain terhadap Indonesia sebagai suatu negara yang berdaulat. Di masa inilah Republik Indonesia memfokuskan perhatiannya kepada PBB dan negara–negara lain yang juga baru merdeka (emerging nation) untuk kemudian diminta dukungannya dalam perjuangan anti-imperialis Indonesia.


Tulisan ini bemaksud merangkum dalam deskripsi dan analisis pada konteks historis basis konsep ilmu hubungan internasional. Penulis memohon maaf apabila terjadi banyak kesalahan dan kecerobohan dalam penyusunan tulisan ini. Sesungguhnya tujuan utama penulis adalah untuk mempelajari secara lebih mendalam tentang metode keilmuan dari ilmu hubungan internasional, sejarah perjuangan diplomasi republik Indonesia khususnya. Penulis sangat mengharapkan adanya kritik dan saran terhadap karya penulis yang sesungguhnya masih sangat jauh dari kesempurnaan. Semoga tulisan ini dapat membawa manfaat bagi kita semua terutama bagi kami.


Jakarta, 3 May 2008

Penulis
Fachrul Thaib




























DAFTAR ISI



Kata Pengantar i
Abstraksi ii
Daftar Isi iii

I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Permasalahan
1.3 Tujuan dan Penulisan
1.4 Metodologi Penulisan

II. LANDASAN TEORI
2.1 Teori Negosiasi 2

III. PEMBAHASAN
3.1 Usaha-usaha Diplomasi Indonesia-Belanda dalam Proses Memperoleh
4
Pengakuan Belanda atas Kedaulatan Republik Indonesia
3.1.1 Perundingan Hoge Veluwe dan Perjanjian Linggarjati 5
3.1.2 Perjanjian Renville 6
3.1.3 Perundingan Roem-Royen 6
3.2 Usaha Diplomasi Indonesia dalam Mendapatkan Pengakuan Negara Lain 8
3.3 Analisis atas Usaha-Usaha Diplomasi Indonesia dalam Mendapatkan Pengakuan Kedaulatan 9
IV. PENUTUP
4.1 Kesimpulan 10

DAFTAR PUSTAKA 11

PENDAHULUAN


I.1. Latar Belakang


Perjuangan Diplomasi adalah salah satu perjuangan yang ditempuh Republik Indonesia pada masa awal kemerdekaannya. Salah satu fase yang paling menarik di dalamnya adalah berkaitan dengan usaha Republik Indonesia mencari dukungan dan pengakuan negara lain terhadap kedaulatannya terutama negara Belanda. Perjuangan diplomasi dilatarbelakangi oleh kondisi Indonesia yang sudah terdesak dan tidak adanya de jure dalam kedaulatan bangsa Indonesia.

Negara Indonesia juga baru bisa diakui kedaulatannya oleh dunia internasional jika sudah tidak mempunyai masalah politik dengan negara Belanda yang notabene merupakan negara bekas penjajahnya. Oleh karena itu, saya memberikan penekanan kepada usaha Indonesia meraih pengakuan kedaulatan dari Belanda di samping negara-negara lainnya seperti Mesir, Suriah, dan India. Hal ini saya lakukan dikarenakan keterbatasan halaman dan bahwa pengakuan dari Belanda adalah yang paling penting dan signifikan bagi Republik Indonesia.

Disini saya menggunakan teori negosiasi sebagai dasar analisis dari perjalanan diplomasi Republik Indonesia-Belanda dalam waktu yang sangat bersejarah yakni dari masa perundingan Hoge Veluwe sampai dengan Roem-Royen (1946 – 1949).












I.2. Permasalahan

Permasalahan yang ingin dikaji pada tulisan ini sebetulnya bersumber dari analisis yang bersifat analitis dan deskriptis terhadap perjuangan diplomasi Indonesia dalam mencari pengakuan dari negara lain, adapun secara spesifik akan terangkum dalam pertanyaan–pertanyaan sebagai berikut :

1. Apa latar belakang, substansi, dan arti pengakuan dari negara lain bagi Indonesia dan seperti apakah perjuangan republik Indonesia dalam mencari pengakuan dari negara lain?
2. Hasil–hasil apa sajakah yang menjadi pencapaian republik Indonesia dalam mencari pengakuan dari Belanda berikut analisa apa sajakah yang dapat ditarik dari kasus perjuangan diplomasi RI-Belanda.

I.3. Tujuan dan Penulisan

Makalah ini ditulis untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Diplomasi. Namun, makalah ini juga kami tulis sebagai upaya untuk menangkap esensi dan makna dari sebagian sejarah mengenai perjuangan diplomasi republik Indonesia dalam mencari pengakuan negara lain pada fase awal kemerdekaan bangsa (1946-1949). Fase dimana keadaan republik sesudah demikian terdesak sehingga mengharuskannya mencari pengakuan diplomatik dari dunia internasional.

I.4. Metodologi Penulisan

Makalah ini akan ditulis dengan metode kualitatif yang deskriptif dan analitis. Kualitatif karena lebih banyak bersifat tinjauan pustaka dan tidak mencantumkan angka dan data yang sifatnya kuanitatif. Makalah ini bersifat analitis karena berusaha menganalisis substansi dan tujuan negara dalam suatu pembahasan mengenai performa diplomasi Indonesia dalam meraih pengakuan dari negara lain.

Sifat deskriptif pada tulisan ini berasal dari keinginan penulis untuk menjelaskan kembali kondisi Republik Indonesia pada masa perjuangan konfrontasi yang dibarengi dengan perjuangan diplomasi. Terutama masa antara perundingan Hoge Veluwe dan Roem-Royen.
Studi pustaka adalah teknik yang akan digunakan dalam penulisan makalah ini. Buku-buku maupun Jurnal yang digunakan pada makalah ini bersumber dari UPD HI-UI, Perpustakaan Paramadina, dan juga dari situs internet seperti IRtheory.com dan Proquest.com

















BAB II
LANDASAN TEORI

II.1. Teori Negosiasi[1]

Pemerintah suatu negara tentunya memiliki suatu tujuan ataupun kepentingan demi mempertahankan tetap utuhnya dan berjalannya negara tersebut. Demi mencapai tujuan, pemerintah suatu negara harus berkomunikasi dengan berbagai pihak yang berkaitan dengan kepentingan negara tersebut. Pemerintah dapat berkomunikasi langsung antar menteri atau kepala negara yang bersangkutan ataupun pertukaran informasi lewat media komunikasi.

Sekalipun demikian, pemerintah suatu negara membutuhkan perwakilan yang resmi dan permanen di negara lain, yang sering disebut perwakilan diplomatik. Dalam perwakilan diplomatik dikenal adanya istilah diplomasi, yang lebih mengacu pada proses perundingan atau negosiasi.

Negosiasi sendiri memiliki arti yang lebih inti dari diplomasi, karena negosiasi juga bagian dari diplomasi itu sendiri. Diplomasi lebih khusus pada cara dimana aktor-aktor dalam dunia internasional, yang secara berusaha untuk mengatasi masalah-masalah mereka, mempromosikan kepentingan-kepentingan yang saling menguntungkan, mengatur pola konflik dan kerjasama mereka satu dengan yang lainnya, dan dengan cara itu mempertahankan sIstem internasional di antara mereka.

Negosiasi adalah cara yang biasanya ditempuh suatu negara untuk menjelaskan suatu diskusi yang lebih formal dan prosedur yang terstruktur dalam penyelesaian masalah secara bersama. Normalnya, negosiasi dicirikan oleh agenda yang tegas, pertukaran proposal, pertemuan tatap muka antara perwakilan-perwakilan diplomatik pada suatu waktu dan tempat yang telah disetujui dan terkadang tata cara yang sangat panjang.

Ada kesadaran akan sekian banyak konflik, tetapi sebuah penyelesaian yang lebih besar ditempatkan pada kerjasama dan apresiasi terhadap fakta bahwa pihak-pihak yang terkait memiliki harapan yang saling menguntungkan untuk menghindari konsekuensi dari perjanjian yang mengikat dan sebuah perhatian bersama. Ada beberapa faktor penting yang menentukan suatu negosiasi berdasarkan penelitian serta pengalaman historis.
1. Negosiasi adalah kepentingan yang terbagi dalam pencapaian sebuah persetujuan. Kedua pihak (dalam kasus negosiasi bilateral) dan banyak pihak yang terkait (dalam kasus negosiasi multilateral) harus menyadari bahwa mereka berbagi masalah bersama, mengajak pihak lain untuk berpartisipasi dalam memperoleh sebuah resolusi diplomatik, dan menyetujui bahwa isu konflik antara mereka tidak begitu bisa dikendalikan sebagai pencegahan sebuah kemungkinan yang sebenarnya pada penemuan bersama sebuah solusi yang memuaskan.
2. Situasi penting yang lainnya yaitu untuk memastikan dan memberikan pihak-pihak lain. Dalam bernegosiasi terhadap suatu isu dari konflik, pihak-pihak biasanya meminta permintaan yang maksimal dan minimal. Pada suatu akhir, mereka memilih hasil, atau semua hal yang idealnya akan memberikan hasil.
Hal ini bisa dilihat dalam kenyataan pahwa pihak-pihak dalam banyak negosiasi secara spontan yang meminta lebih dari yang pernah mereka harap bisa raih. Pada suatu akhir yang lainnya adalah yang minimal, paling tidak pada awal negosiasi, mereka bersedia untuk duduk, percabangan atau garis batas lebih jauh yang mereka harapkan untuk membuat kebersediaan yang tidak lebih jauh. Inilah yang sering disebut dengan ‘titik-titik hambatan’.
Bagaimana suatu negosasi bisa tercapai hasil terbaiknya jika ada jarak yang cukup dekat antara titik-titik hambatan tadi. Negosiator selalu mencoba berada di posisi yang cukup dengan permintaan minimal dan hal tersebut juga di pihak lain, serta dengan maksud tersebut menentukan seberapa jauh mereka dari persetujuan dan apakah ada ruang untuk negosiasi. Pada tempat iltulah seorang negosiator membuat keputusan tentang substansi dari persetujuan dan substansi dari ketidaksepakatan.
Seperti yang dikatakan Roger Fisher dan William Ury, BATNA (best alternative to a negotiated agreement). Sebuah persetujuan akan diterima hanya jika persetujuan itu menghasilkan hasil yang lebih baik daripada yang pihak lain berikan di waktu persetujuan.
3. Kepentingan dan tujuan bersama diantara pihak-pihak terhadap perundingan apapun paling baik ditelusuri, ruang gerak dimana kemungkinan kerjasama sangat dimungkinkan dan dimana kepentingan-kepentingan yang ada mencapai sebuah kesepakatan. Kemungkinan mendapatkan persetujuan umumnya lebih mudah bagi negosiasi antara dua negara (bilateral) daripada negosiasi multilateral yang melibatkan banyak negara dan banyak kepentingan.

4. Negosiasi tidak akan sukses jika tidak ada pikiran untuk membagi hasil keuntungan. Kepentingan dan tujuan bersama adalah bagian penting sebuah fungsi dari apakah peserta negosiasi yakin bahwa sebuah persetujuan akan memenuhi kepentingan mendasar mereka dan membawa sejumlah keuntungan yang mereka tidak akan bisa amankan sendiri atau dengan resiko atau harga yang tidak sepadan.

Keuntungan bersama tersebut terlihat dalam beberapa bentuk. Persetujuan akan meluas yang dirancang untuk menghasilkan ratifikasi formal dan kelanjutan dari persetujuan yang telah ada, seperti kesepakatan soal tariff, pembaharuan aliansi, atau klarifikasi kembali atas akses ke luar negeri.

Beberapa lainnya yaitu persetujuan normalisasi (normalization agreements) ditemukan untuk mengurangi situasi yang berbahaya, seperti pemulihan hubungan diplomatik, penyudahan perang dagang, atau tuntutan gencatan senjata. Selain itu, ada persetujuan redistribusi (redistribution agreements) yang mengubah batas territorial atau pembagian jatah pasar. Yang terakhir adalah persetujuan inovasi (innovation agreements) yang menyusun atau memprakarsai persetujuan baru, seperti pembentukan NATO atau IAEA.

5. Faktor terakhir yang menentukan kesuksesan negosiasi adalah keahlian negosiator. Tidak satu pun faktor-faktor atau situasi dapat menjelaskan suatu keberadaan atau berjalan dengan sendirinya, tetapi juga harus diinterpretasikan, disusun, dan dimobilisasi oleh orang-orang yang memiliki kemampuan-kemampuan yang diperlukan dalam ilmu dan seni negosisi itu sendiri.


BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Usaha-usaha Diplomasi Indonesia-Belanda dalam Proses Memperoleh Pengakuan Belanda atas Kedaulatan Republik Indonesia

Setelah hampir 350 tahun lamanya Indonesia dijajah oleh Belanda dan Jepang, akhirnya pada 17 Agustus 1945 Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Proklamasi kemerdekaan yang digagas langsung oleh pemuda-pemudi Indonesia ketika sedang terjadi kekosongan kekuasaan (vacuum of power) karena Jepang sebagai penjajah Indonesia kala itu sudah mengalami kekalahan dalam perang dunia kedua yang ditandai dengan peristiwa dijatuhkannya bom atom Little Boy dan Fat Man di kota industri Hiroshima dan Nagasaki oleh Amerika Serikat pada tanggal 6 dan 9 Agustus 1945.

Masa kekosongan kekuasaan inilah yang dimanfaatkan betul oleh Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya Setelah merdeka, Indonesia membutuhkan pengakuan kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia dari dunia internasional. Maka dari itu, Indonesia berusaha keras untuk mendapat pengakuan tersebut. Namun, ada hal yang mengganjal bagi negara Indonesia dalam proses mendapat pengakuan sebagai suatu kesatuan politik yang baru terbentuk.

Philip C. Jessup menyatakan ada tiga atribut yang mesti dimiliki suatu negara baru yang hendak mendapat pengakuan, yakni wilayah, penduduk, dan pemerintah yang cukup bebas, mampu, dan berkeinginan untuk menjalin hubungan internasional dan bersedia menerima dan menunaikan kewajiban internasional. Indonesia mampu untuk memenuhi ketiga atribut di atas. Akan tetapi, ada syarat keempat yang harus dipenuhi oleh negara yang merdeka dari penjajahan, yaitu penyelesaian politik antara negara penjajah dan negara bekas jajahannya[2]. Dengan demikian, Indonesia harus menyelesaikan segala persoalan politiknya dengan negara Belanda yang masih memendam keinginan untuk menguasai Indonesia kembali.


Dalam perjalanannya, Indonesia tidak hanya fokus menyelesaikan masalahnya dengan Belanda saja, tetapi juga Indonesia berusaha menggalang pengakuan dari negara-negara lain baik secara de facto maupun de jure guna mempermudah proses perdamaiannya dengan Belanda. Karena kondisi Indonesia setelah merdeka masih belum stabil dan membutuhkan bantuan dari negara-negara lain, terutama setelah Belanda melancarkan aksi blokadenya, sehingga Indonesia tidak dapat menggekspor hasil produksinya untuk mendapat dana guna pembiayaan anggaran negara dan mensejahterakan rakyatnya.

Perjanjian Civil Affairs Agreement yang ditandatangi oleh Inggris dan Belanda di London tanggal 24 Agustus 1945 telah membuat Belanda mendapatkan pengakuan de jure dari Inggris akan kekuasaannya terhadap Hindia Belanda. Belanda semakin berniat untuk menguasai Indonesia kembali dan akan melakukan segala macam cara untuk mencapainya. Belanda juga menyatakan dirinya tidak mau berunding dengan Indonesia guna mencari kesepakatan. Belanda rupanya ingin memanfaatkan Inggris yang menjalankan tugas untuk mengamankan wilayah Asia Tenggara pasca menyerahnya Jepang, untuk bisa kembali ke Indonesia dan melancarkan aksinya untuk merebut Indonesia kembali.

Pada 15 September 1945 Sekutu (Inggris) merapat di Tanjung Priok di bawah pimpinan Laksamana Muda W.R Patterson sebagai wakil dari Lakasamana Lord Louis Mountbatten. Di samping kapal perang Inggris Cumberland, terdapat kapal perang Belanda dan personil NICA (Netherlands Indies Civil Administration) yang berada di bawah pimpinan Van Der Plas yang diperbantukan pada pimpinan perang Sekutu di Indonesia AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) mewaikili pemerintah Belanda.[3] Namun, baru pada tanggal 29 September 1945 sekutu melakukan pendaratan. AFNEI mengikutsertakan tentara-tentara India yang kala itu belum merdeka dalam pendaratannya ke Indonesia.




Hal ini menguntungkan bagi Indonesia karena tentara India masih memiliki rasa persaudaraan dengan rakyat Indonesia yang notabene sama-sama berdarah Asia dan mayoritas beragama sama (Islam). Sehingga keberadaan tentara India ini justru membantu dan memihak Indonesia. Tetapi, pada Maret 1946, Inggris menarik pasukan Indianya dari Indonesia atas desakan pihak dari India sendiri.

Walaupun Inggris sudah menandatangani perjanjian Civil Affairs Agreement dengan sekutunya, Belanda. Inggris menegaskan bahwa keberadaan tentara Inggris di Indonesia hanya bertujuan untuk membebaskan tawanan perang dan interniran dan untuk menguasai di sekitar Jakarta dan Surabaya. Tentara Inggris tidak akan digunakan Belanda untuk merebut kekuasaan Indonesia. Dengan ini, Inggris telah menerapkan politik non-interferencenya.

3.1.1 Perundingan Hoge Veluwe dan Perjanjian Linggarjati

Pihak sekutu yang diwakili oleh Laksamana Mountbatten mengancam akan menolak memberi bantuan kepada pihak Belanda jika Belanda masih tidak mau menyelesaikan masalah dengan Indonesia secara damai. Akhirnya, pada tanggal 23 Oktober 1945, Jenderal Christison mengatur perundingan antara Presdien Soekarno selaku pemimpin Indonesia dengan Van Mook dan Mr. Maberly E. Dening (penasehat politik Laksamana Mountbatten).

Dalam rapat ini Maberly Dening memberitahukan pemimpin Republik Indonesia mengenai kenyataan bahwa komando Sekutu mengakui pemerintah Hindia-Belanda sebagai penguasa yang sah di Indonesia. Inggris memberi penjelasan bahwa pengakuannya terhadap kedaulatan Belanda tidak berarti mendukung Belanda dalam persengketaannya dengan Indonesia. Namun perundingan ini tidak memuaskan bagi pihak Indonesia. Menurut apa yang tercantum dalam buku Sejarah Diplomasi Republik Indonesia dari Masa ke Masa 1945-1950, karena keinginan Indonesia untuk mendapat pengakuan secara penuh yang meliputi seluruh wilayah Hindia Belanda, sesuai pidato Ratu Wilhelmina tanggal 6 Desember 1942 (hak penentuan nasib sendiri Indonesia, tetapi tetap dalam lingkungan Kerajaan Belanda).

Pada tanggal 10 Oktober 1945, terjadi pertempuran di Surabaya antara bangsa Indonesia melawan pasukan sekutu yang baru mendarat. Hal ini disebabkan oleh kekhawatiran Indonesia akan masuknya tentara Belanda dalam kehadiran pasukan sekutu tersebut. Peristiwa ini menewaskan komandan Sekutu Brigadier Mallaby. Peristiwa Surabaya kemudian secara tidak langsung memaksa Belanda untuk berunding dengan Indonesia.

Indonesia dan Belanda kemudian sama-sama bersedia melakukan perundingan untuk menyelesaikan permasalahan mereka. Kedua belah pihak kemudian sepakat untuk melakukan perundingan Hoge Veluwe di Belanda dan melakukan perundingan awal yang dilakukan pada tanggal 23 oktober 1945 sampai dengan 31 Maret 1946. Inggris berperan sebagai pihak penengah. Baik Indonesia maupun Belanda menemukan kesulitan-kesulitan tersendiri dalam menghadapi perundingan Hoge Veluwe. Karena di dalam negeri terjadi perdebatan antara pihak yang setuju berjuang dengan jalur diplomasi dengan pihak yang menginginkan konfrontasi. Belanda juga saat itu sedang dalam rangka persiapan Pemilu yang mempertaruhkan dukungan bagi Schermerhorn selaku perdana menteri saat itu.

Perundingan kedua antara Indonesia dan Belanda dilaksanakan pada tanggal 10 Februari 1946 di Jakarta. Ketika itu, Sir Archibald Clark Kerr diberikan tugas sebagai penengah dalam perundingan mewakili Inggris. Belanda (diwakili oleh Van Mook) yang tidak ingin berkompromi dengan Soekarno yang dianggap sebagai antek Jepang, berhadapan dengan Perdana Menteri Sutan Syahrir. Kemudian pada perundingan selanjutnya yang berlangsung tanggal 27 Maret 1946, Indonesia dan Belanda sudah sedikit menemukan titik kesepakatan di mana konsep perjanjian Hoge Veluwe sementara sudah terbentuk.








Perundingan Hoge Veluwe sendiri berlangsung sejak tanggal 12 sampai dengan 24 April 1946 di St. Hubertus, Belanda. Delegasi Republik Indonesia diketuai oleh Mr. Soewandi yang didampingi DR.Soedarsono, dan Mr. A.K. Pringgodigdo. Sedangkan delegasi Belanda dikepalai oleh Perdana Menteri Schermerhorn dengan anggota yaitu Manteri Drees, menteri Logemann, Menlu Van Royen, Van Mook, dan Mr. P Sanders. Namun perundingan Hoge Veluwe ini tidak memuaskan kedua belah pihak karena masih tajamnya perbedaan pendapat di antara Indonesia dan Belanda. Belanda menolak usulan yang diajukan Clark Kerr tentang pengakuan kedaulatan Republik Indonesia secara de facto di Jawa, Madura, dan Sumatra.

Belanda hanya bersedia mengakui kedaulatan RI secara de facto pada Pulau Jawa dan Madura saja. Sebaliknya, usulan Belanda agar Indonesia tetap berada di bawah kekuasaan Kerajaan Belanda ditolak oleh RI. Agar keadaan kedua belah pihak bersengketa membaik maka disepakati pembentukan Komisi Gencatan Senjata. Perwakilan Indonesia dipimpin oleh Dr. Sudarsono, Jenderal Sudirman, Jenderal Urip Sumohardjo.

Inggris kemudian mengirimkan Lord Killearn sebagai penengah. Pihak Belanda diwakili oleh Komisi jenderal yang dipimpin oleh Prof. Schermerhorn. Kedua belah pihak kemudian melakukan pertemuan pendahuluan tanggal 7 Oktober 1946, kemudian perundingan diteruskan di Linggarjati yang berhasil menelurkan persetujuan yang sudah ditandatangani pada tanggal 10 November 1946. isi persetujuan tersebut antara lain:

Pemerintah RI dan Belanda bersama-sama membentuk negara federasi yang bernama Indonesia Serikat.

Negara Indonesia Serikat tetap mengikat diri dalam kerja sama dengan Kerajaan Belanda dengan berwadahkan Uni Indonesia-Belanda yang diketuai oleh Ratu Belanda.

Setelah mendapat persetujuan dari parlemen, perjanjian Linggarjati ini kemudian ditandatangi oleh RI dan Belanda pada tanggal 25 Maret 1947.



3.1.2 Perjanjian Renville

Setelah perjanjian Linggarjati ditandatangi, hubungan RI dan Belanda semakin memburuk. Pihak Belanda rupanya hanya menandatangi perjanjian ini agar bisa mendatangkan lebih banyak pasukannya ke Indonesia. Lalu pada tanggal 21 Juli 1947, Belanda kemudian melancarkan Agresi Militer I ke dalam wilayah kekuasaan RI. Agresi Belanda I ini menandakan bahwa Belanda telah melanggar perjanjian Linggarjati dan mendapat kecaman dari dunia internasional.

Pemerintah India dan Australia yang berpihak kepada RI meminta agar permasalahan RI-Belanda ini dibahas dalam sidang Dewan Keamanan. Dewan Kemanan lalu memerintahkan gencatan senjata mulai 4 Agustus 1947. Gencatan senjata kemudian diawasi sementara oleh Dewan Komisioner. Kemudian Dewan Keamanan membuat Komisi Jasa-Jasa Baik yang juga bertugas untuk mengawasi gencatan senjata. Negara-negara yang tergabung dalam komisi ini adalah Amerika Serikat, Australia, dan Belgia sehingga di sebut Komisi Tiga Negara (KTN). Komisi Tiga Negara hanya berhak memberikan usul dan tidak berhak untuk memutuskan persoalan politik.

Dengan bantuan KTN inilah kedua pemerintah RI dan Belanda sepakat untuk kembali ke meja perundingan. Perundingan diadakan di tempat yang netral yaitu di atas kapal angkut Amerika Serikat USS Renville dan dibuka resmi pada tanggal 8 Desember 1947. Republik Indonesia diwakili oleh Perdana Menteri Amir Syarifuddin, sedangkan Belanda diwakili oleh Abdulkadir Widyoatmodjo. Pihak Belanda bersikeras pada tuntutannya mengenai Garis van Mook, yaitu garis yang menghubungkan pucuk-pucuk terdepan pasukan Belanda yang masih bergerak sesudah perintah gencatan senjata, sedangkan TNI menguasai sepenuhnya daerah pedalaman. Pemerintah RI lalu menyetujui isi Persetujuan Renville atas desakan dari KTN.

Hal ini mengakibatkan daerah RI yang diduduki Belanda melalui agresinya diakui oleh RI, sampai diselenggarakannya pemungutan suara untuk menentukan apakah rakyat di sana berkeinginan untuk bergabung dengan RI atau tidak. Pemerintah RI juga menarik pasukan dari daerah kantong. Persetujuan Renville ini ditandatangani tanggal 17 Januari 1948.

3.1.3 Perundingan Roem-Royen

Belanda tidak menjalankan hasil dari Perjanjian Renville sebagaimana mestinya dan melakukan agresi militernya yang kedua. Agresi militer Belanda II dibuka pada tanggal 19 Desember 1948. Kala itu, Belanda menyerang sejumlah daerah Republik Indonesia dan menduduki ibu kota Yogyakarta. Belanda kemudian menahan Presiden Soekarno, Wakil Presiden Hatta, Moh.Roem, Sutan Syahrir, H. Agus Salim, dan sejumlah tokoh penting lainnya.

Para tokoh ini kemudian diasingkan ke Prapat dan Pulau Bangka. Selama berada di tahanan, mereka diperlakukan dengan tidak baik dan tidak diberi kebebasan. Perlakuan Belanda terhadap para tawanan semakin menyulitkan posisi Belanda. Dewan Keamanan PBB semakin mendesak agar Belanda membebaskan para pemimpin Republik Indonesia. Belanda juga membujuk para pemimpin untuk meninggalkan aktivitas politiknya atau diberi pilihan untuk tinggal di luar negeri. Usulan ini ditolak oleh pemimpin RI.

Namun, dengan ditahannya tokoh pemerintah Republik Indonesia dan didudukinya Yogyakarta, tidak membuat Belanda dapat menaklukan Indonesia. Karena sebelum Belanda berhasil menduduki istana Presiden, Syafrudin Prawiranegara selaku Menteri Kemakmuran sudah mendapat mandat untuk mendirikan Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Bukit Tinggi, Sumatra. Agresi militer Belanda II juga mendapat perlawanan hebat dari rakyat dan tentara Indonesia yang dipimpin oleh Panglima Besar Angkatan Perang, Jenderal Sudirman.

Berbagai resolusi yang diterima dalam sidang Dewan Keamanan dirancang, antara lain, berdasarkan laporan-laporan United Nations Commission for Indonesia (UNCI) mengenai ketidaksesuaian laporan Belanda atas kondisi para tawanan dengan fakta lapangan. Tekanan dari Dewan Keamanan akhirnya membuat pemerintah Belanda memberi kebebasan bergerak kepada para pemimpin Republik Indonesia di Pulau Bangka.[4] Pada tanggal 24 Januari 1949 Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi agar RI dan Belanda segera menghentikan permusuhan.

Resolusi-resolusi yang dikeluarkan oleh Dewan Keamanan PBB menjadi semakin menunjukkan keberpihakannya kepada Republik Indonesia. Namun, Republik Indonesia tidak mau berunding dengan Belanda dalam Konferensi Meja Bundar jika tokoh-tokoh pemerintah RI masih berada dalam tahanan. Hal ini dipertegas oleh pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan pada Pertemuan Musyawarah Federal tanggal 3 Maret 1949. Pemerintah Negara Indonesia Timur dan Negara Pasundan dengan lantang menyatakan tidak akan hadir dalam KMB jika Republik Indonesia tidak hadir.

Belanda yang semakin terdesak posisinya kemudian akhirnyaa melunak dan mau diajak bekerja sama. Pertemuan antara delegasi Indonesia yang diketuai oleh Moh. Roem, SH dan delegasi Belanda yang diketuai olehn Dr. J. H. Van Royen digelar pada tanggal 6 Mei 1949. Pertemuan ini diprakarsai oleh anggota UNCI, Merle Cochran. Kedua delegasi akhirnya menyetujui beberapa prinsip pokok, yaitu:

Pengembalian Yogyakarta kepada Republik Indonesia.
Pengembalian para pemimpin Republik Indonesia dari Bangka ke Yogyakarta dalam kedudukan semula sebagai anggota pemerintah Republik Indonesia.
Mengadakan persiapan Konferensi Meja Bundar.
Mempercepat penyerahan kedaulatan penuh kepada Negara Indonesia Serikat dengan tidak bersyarat.
Masing-masing pemerintah berikrar untuk mengusahakan penghentian perang dan kembalinya perdamaian.[5]

Pada tanggal 7 Mei 1949, akhirmya Republik Indonesia dengan Belanda mencapai suatu kesepakatan bersama di mana Moh.Roem selaku ketua delegasi Republik Indonesia menyatakan bahwa:

1. Pemerintah RI akan mengeluarkan perintah penghentian perang gerilnya.
2. Turut serta dalam KMB yang betujuan untuk mempercepat penyerahan kedaulatan yang lengkap dan tidak bersyarat kepada Negara Republik Indonesia Serikat
3. Kerjasama untuk perdamaian



Sedangkan Dr. J.H. Van Royen menyatakan bahwa:

Pemerintah Belanda setuju bahwa pemerintah RI harus bebas dan leluasa melakukan kewajiban dalam satu daerah yang meliputi karesidenan Yogyakarta.
Pemerintah Belanda membebaskan secara tak bersyarat pemimpin-pemimpin RI dan tahanan politik lainnya.
Pemerintah Belanda setuju RI akan menjadi bagian dari Republik Indonesia Serikat (RIS).
Konferensi Meja Bundar yang membahas penyerahan kedaulatan kepada Negara Republik Indonesia Serikat akan diadakan secepatnya di Den Haag sesudah pemerintah RI kembali ke Yogyakarta.

Sesudah persetujuan Roem-Royen tersebut disepakati, maka Pemerintah Darurat RI di Sumatra kemudian memberi perintah kepada Sultan Hamengkubuwono IX untuk mengambilalih pemerintahan di Yogyakarta dari pihak Belanda.

Namun, persetujuan Roem-Royen ini banyak disangsikan oleh beberapa kalangan seperti Angkatan Perang (TNI) dan wakil Tinggi Mahkota, Beel, yang kemudian mundur dari jabatannya karena persetujuan ini tidak sesuai dengan yang dikehendakinya. Akan tetapi, sejumlah pihak juga menyambut baik kesepakatan Roem-Royen ini sebagai pintu penyelesaian sengketa RI dengan Belanda secara damai. Persetujuan Roem-Royen inilah yang kemudian mengantar Republik Indonesia mendapat pengakuan kedaulatan dari Belanda dalam KMB.









3.2 Usaha Diplomasi Indonesia dalam Mendapatkan Pengakuan Negara Lain

Republik Indonesia pada fase perjuangan diplomasi mendapatkan pengakuan dari dunia internasional tidak saja dengan berunding unilateral dengan Belanda. Republik juga berusaha mendapatkan pengakuan–pengakuan dalam bentuk perjanjian persahabatan dan nota kesepakatan dengan negara lain. Keseriusan akan hal ini terlihat saat Indonesia mengirimkan duta–dutanya, Dr. Sudarsono dikirim ke New Delhi, Dr. Usman Sastroamidojo ke Canberra, Idham ke Karachi, dan Hadji Rayshid ke Mesir, semuanya dengan tujuan memperkenalkan negara ini ke negara lain yang notabene baru berdiri dan memiliki solidaritas tinggi sebagai eks negara jajahan.

Benih yang ditanamkan Indonesia dengan mencoba membantu perjuangan negara lain mulai terbentuk, Indonesia yang pernah mengirimkan supply makanan ke India lewat pelabuhan Cirebon dibahas dengan bantuan baik materi maupun moral dari pemerintah India. All Indian National Congress tidak hanya menjadikan permasalahan Indonesia sebagai isu dalam negri tetapi lebih jauh saat Nehru, bersama Australia mulai mengangkat permasalahan Indonesia di dunia internasional.

Republik indonesia juga mengambil peran yang strategis dalam mengahadapi pembentukan negara bagian oleh Belanda di wilayah non-republik dalam konteks Linggajati agreement. Pemerintah bersikap sangat simpatik saat mengontak dan secara terbuka mengakui eksistensi dari negara Indoensia timur yang kemudian pada peristiwa–peristiwa berikutnya membuktikan kesetiaanya kepada Indonesia bukannya Belanda, kalau saja pemerintah Republik indonesi bersikap emosional sulit dibayangkan apa yang akan terjadi, mungkin saja republik ini akan terpecah-pecah sesuai keinginan Belanda.

Dukungan Amerika Serikat kepada republik Indonesia tak lagi pelik dilihat dari menyerahnya Belanda di KMB. Indonesia sendiri mengalami perjuangan yang sulit sebelum pada akhirnya akan mendapatkan simpati Amerika Serikat sepenuhnya. Hatta terbukti pada masa jabatannya sebagai PM memperhitungkan dengan baik, dan sesuai pidato kenegaraanya di depan KNIP, bahwa kebijakan Indonesia adalah fleksibel, dan pada masa-masa itu Jogjakarta lebih memilih Washington daripada Moskow dibuktikan dengan penumpasan PKI Madiun tahun 1948.
Republik Indonesia sendiri memilih untuk menjauhi Uni Soviet karena ditakutkan hal itu akan semakin mendekatkan dukungan Amerika Serikat kepada Belanda. Putusnya pendekatan pemerintah RI dengan Moskow waktu itu sempat menyebabkan kericuhan politik dalam negeri, dimana para simpatisan PKI dan sayap kiri akhirnya melancarkan kudeta di Madiun.

Patut dimengerti bahwa keputusan Hatta dan pemerintah untuk menarik simpati dari blok barat dengan mengeluarkan elemen sayap kiri dari kabinet dan menjauhi Moskow membuat para sayap kiri frustasi. Bagaimanapun juga dengan dipadamkannya pemberontakan dalam sekejap akhirnya persepsi Amerika Serikat dan dunia Internasional pada umumnya mulai berubah terhadap Indonesia.

Faktor kuci kemenangan Indonesia dalam perjuangan diplomasi yang pada akhirnya memaksa Belanda untuk mengakui kedaulatan republik Indonesia adalah aksi yang diciptakan sendiri oleh militer Belanda dalam agresi militer II. Serangan militer itu diakui sendiri oleh Ide Agung sebagai suatu operasi militer yang sangat brilian, namun secara politik mebawa bencana yang fatal. Serangan itu memang berhasil menduduki Ibu kota Republik Indonesia, menangkap pempimpin nasional dan mencerai beraikan sisa-sisa kekuatan tentara nasional.

Namun, serangan itu juga merupakan bukti bahwa Belanda tidak menghormati perjanjian renville yang disetujui di depan KTN, juga merupakan suatu penghinaan dan tindakan tidak hormat kepada PBB. Jelas saja kemudian dunia Internasional mengutuk serangan itu. Nehru mengumpulkan negara-negara Asia dan Afrika untuk akhirnya mengecam secara keras tindakan sepihak Belanda, dan ia pun memasukan resolusi ini ke PBB. Negara–negara yang biasanya mengawal kepentingan Belandapun mulai menyingkir. Perancis, Inggris dan Amerika Serikat mulai berubah posisinya terhadap Belanda, sementara Nehru menyatakan bahwa serangan militer Belanda adalah serangan paling memalukan yang pernah terjadi.

Walaupun Ide Agung dalam bukunya menyatakan bahwa faktor yang menyebabkan pemerintah tidak lari pada waktu itu adalah miskalkulasi pemerintah RI, namun saya lebih cenderung pada pendapat bahwa pemerintah RI melakuakan ini karena strategi diplomasi untuk selanjutnya melancarkan Indonesia dalam negosiasi Internasional.

Terlepas mana yang benar, pemerintah Indonesia memang menjadi pihak yang menang secara diplomatis setelah itu, yang pada akhirnya akan semakin mengkerucutkan dukungan Internasional dan membawa konflik indonesia ke titik klimaks, Konfrensi Meja Bundar

3.3 Analisis atas Usaha-Usaha Diplomasi Indonesia dalam Mendapatkan Pengakuan Kedaulatan

Pemerintah Indonesia memiliki suatu agenda yang sangat penting, yaitu mendapatkan pengakuan kedaulatan Indonesia dalam bangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia, seperti yang telah tercantum dalam Undang-undang Dasar (UUD) 1945. Dalam tujuan itu, Indonesia menempuh berbagai cara dalam memperjuangkan kedaulatannya, termasuk dengan Diplomasi, khususnya negosiasi dengan pihak yang bersengketa, dalam hal ini yaitu Belanda. Diplomasi Indonesia tidaklah mengalami perkembangan yang lurus-lurus saja.

Dari Konferensi Hoge Valuwe sampai dengan Roem-Royen, pemerintah Indonesia mengalami pasang surut dalam pencapaian hasil dari pengakuan kedaulatan Republik Indonesia. Pada perundingan Hoge Valuwe, memang tidak ada kesepakatan antara Indonesia dan Belanda. Akan tetapi, pada kesempatan itu, Indonesia mendapatkan pengakuan de facto dari Belanda, walaupun hanya untuk pulau Jawa saja. Sedangkan faktanya waktu itu pemerintah Indonesia memiliki kekuasaan di Sumatera dan Jawa.

Hoge Valuwe oleh pihak Indonesia dianggap sebagai titik terang bagi relasi kedua pihak yang bertikai, setelah sebelumnya Belanda bersikeras tidak mau berunding dengan Indonesia. Faktor yang paling mendasar yang diperlukan dalam negosiasi telah terpenuhi, yaitu adanya kepentingan yang terbagi dalam mencapai sebuah persetujuan. Kedua pihak menyadari tengah berada dalam suatu masalah bersama, dan untuk itu harus diperoleh resolusi diplomatik yang paling tepat untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Pada konferensi Linggarjati, Indonesia mampu mempertahankan kedaulatannya dalam cakupan Negara Indonesia Serikat, dimana Republik Indonesia (RI) termasuk salah satu negara bagiannya. Wilayah RI yang diakui oleh Belanda hanya mencakup Sumatra, Jawa, dan Madura. Kemudian pada Perjanjian Renville, Indonesia lebih dirugikan lagi akibat hanya diakuinya sebagian Pulau Sumatera, serta Jawa Tengah (dan Yogyakarta). Itulah yang disebut titik-titik hambatan (resistance points) dimana Indonesia cukup hanya bisa duduk bersama dan kesepakatan yang tercapai hanya terbatas pada pengakuan keberadaan Indonesia, seminimal apapun itu.

Sepanjang negosiasi-negosiasi di atas, niat dan usaha Indonesia terlebih utama mau menyelesaikan masalah lewat jalan damai, yaitu lewat perundingan, disamping juga tetap adanya kontak senjata antara Indonesia dengan Belanda. Niat dan usaha Indonesia tersebut didasari atas fungsi utama suatu negosiasi, yaitu menawarkan suatu alternatif dimana pihak-pihak dapat mengatur dan mengembangkan kepentingan mereka sesuai persetujuan yang disepakati bersama, daripada harus menggunakan kekuatan dan kekerasan seperti peperangan.





















BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Pengakuan atas kemerdekaan Indonesia dari negara lain adalah sesuatu yang sangat penting bagi masa depan republik Indonesia semasa revolusi. Hal ini karena Republik Indonesia belum memiliki unsur de jure dalam kedaulatannya. Oleh karena itu pada saat Belanda membonceng sekutu untuk berusaha menjadi penjajah lagi di wilayah Indonesia, pemerintah dengan cepat sudah menyusun strategi untuk memperkuat posisi Indonesia di dunia Internasional dengan cara mencari pengakuan dan dukungan sebanyak-banyaknya dari negara lain, dan yang terutama sekali adalah berusaha mencari negara terbaik untuk memperjuangkan pengakuan yang sama dari Belanda.

Perjuangan diplomasi untuk meraih pengakuan dilakukan dengan cara mengirim utusan–utusan yang meminta pengakuan dari negara lain, yang terutama sekali negara dunia ketiga yang baru merdeka yang kental sekali diwarnai perasaan senasib dan sepenanggungan. Atas dasar inilah penulis menyimpulkan bahwa salah satu faktor yang membuat diplomasi Indonesia berhasil adalah aspek sosial kultural bangsa dan negara, pada masa itu empati sangat kuat sekali terbangun dalam basis masyarakat sosial yang berjuang melepaskan diri dari cengkraman imperialis.

Namun, pengakuan lepas dari itu semua, proses dan usaha diplomasi mencari pengakuan kedaulatan dari Belanda tetaplah yang paling penting. Diplomasi Indonesia dalam mencari pengakuan dari Belanda sendiri diwarnai banyak sekali benturan kepentingan yang terangkum dalam negosiasi terhadap kepentingan nasional. Telah saya paparkan mengenai proses panjang dan melelahkan dari usaha Indonesia untuk mempertahankan wilayah dan memperjuangkan kemerdekaannya, Belanda pada masa itu semakin kuat posisinya setelah memenangi banyak pertempuran yang semakin menciutkan wilayah nasional secara de facto.




Dalam perjuangan diplomasi ini, baik itu dalam proses negosiasi Hoge Veluwe, Linggarjati, Renville maupun Roem–Royen, Indonesia telah semaksimal mungkin menekan resiko yang merugikan wilayah RI dalam perundingan. Contohnya pada perundingan Linggajati, Indonesia melalui kabinet Syahrir merelakan wilayahnya berkurang menjadi selingkup Jawa, Sumatera, dan Madura namun berhasil mendapatkan pengakuan atas suatu organisasi yang nantinya akan tergabung dalam Republik Indonesia Serikat. Kemudian pada perjanjian Renville, Indonesia yang posisinya sudah demikian rapuh akibat aksi agresi militer belanda tetap memiliki kedaulatan di wilayah Yogyakarta yang dijadikan sebagai Ibu kota negara walaupun harus merelakan mengakui pengurangan wilayah yang sangat drastis tersebut.

Hal yang sama juga terjadi pada masa negosiasi perundingan Roem-Royen, Indonesia yang kemudian menuai hasil setelah usahanya dalam diplomasi mencari pengakuan negara mulai direspon PBB atas desakan Australia dan India, Belanda semakin sulit posisinya akibat kecaman dunia Internasional yang mengutuk aksi sepihak Belanda yang tidak menghormati komisi jasa–jasa baik dengan melancarkan agresi militer kedua. Hal ini semakin menguntungkan Indonesia pada fase selanjutnya yang pada akhirnya berujung kepada teraih penuhnya kedaulatan Indonesia setelah KMB.

Diplomasi Indonesia adalah suatu prestasi tersendiri mengingat pada akhirnya negara yang sudah sangat terdesak secara politik dan militer yang hancur secara ekonomi dapat membalikan keadaan dengan bantuan dukungan dunia Internasional. Dalam titik ini Indonesia sangat terbantu dengan bantuan diplomatik dari India dan Australia yang terus memperjuangkan nasib Indonesia di kancah Internasional. Tidak lepas pula peranan Mesir, Suriah, dan OKI dalam solidaritas Islamnya, juga Amerika Serikat yang didorong oleh pragmatisme anti-komunisnya. Walau bagaimanapun, berkat negosisasi yang penuh strategi dan cerdiklah yang pada akhirnya memaksa Belanda hengkang dengan arogansi imperialisnya untuk selama–lamanya dari tanah Indonesia, suatu perjuangan meraih pengakuan yang panjang dan sangat melelahkan.





DAFTAR PUSTAKA

Sumber buku:

Agung, Ide Anak Agung Gde. (1973), Twenty Years Indonesiean Forign Policy (1945 – 1965),Mouton & CO, Netherland.
Diah, Herawati dan R.A. Wiendarti Alibazah Pringgodigdo. (2004), Sejarah Diplomasi Republik Indonesia dari Masa ke Masa (1945-1950), Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, Jakarta.
Knutsen, Torbjorn L. (1992), A History of International Relation Theory, Manchester Universuty Press, New York.
Lauren, Paul Gordon. (2007), Force and Statecraft.,Oxford University Press, New York.
Palmer, R.R. (1992), A History of The Modern World, McGraw-Hill, New York.
Papp, Daniel S. (1947), Contemporary International Relation, Macmillian College Publishing, Needham Heights.

Sumber internet:

1. http/www.proquest.com
2. http/www.IRtheories.com
3. http/www.sejarahindonesia.com

[1] Paul Gordon Lauren, Force and Statecraft:Diplomatic Challenges of Our Time, (New York:Oxford University Press,2007),hlm.153
[2] Herawati Diah dan R.A. Wiendarti Alibazah Pringgodigdo(ed.), Sejarah Diplomasi Republik Indonesia dari Masa ke Masa Periode 1945-1950, (Jakarta:Deplu RI,2004),hlm.146
[3] Ibid,hlm 156.
[4]Ibid, hlm.880.
[5] Ibid,hlm.892

Senin, 04 Mei 2009